Pandemi Bukan Hanya tentang ‘Sakit Fisik’: Serangan Mental dari Pandemi COVID-19

ВопросыРубрика: ВопросыPandemi Bukan Hanya tentang ‘Sakit Fisik’: Serangan Mental dari Pandemi COVID-19
0 +1 -1
Elliott Silvers спросил 2 года назад

Tahukah kamu, menurut studi dari World Health Organization (WHO), dari seluruh populasi dunia, tingkat kecemasan dan depresi selama tahun pertama terjadinya pandemi COVID-19 meningkat hingga 25%. Apakah kamu salah satu yang mengalaminya?

1 month agoMeningkatnya tingkat kecemasan dan depresi di seluruh dunia

Sebuah penelitian yang dirilis pada tahun 2019 oleh The Lancet menyebutkan bahwa sekitar 12,5% dari populasi global akan memiliki masalah dengan kesehatan mental mereka pada suatu saat dalam hidup mereka. Selanjutnya, pada tahun 2021, studi lain The Lancet menemukan bahwa tekanan psikologis, depresi, dan gangguan kecemasan umum ditemukan selama setengah tahun terjadinya pandemi Covid-19, yakni selama Juli-September 2020. Sebanyak 42 persen orang dalam penelitian tersebut mengalami tekanan psikologis ringan selama pandemi. Meskipun dikategorikan ringan, persentase tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan angka pada tahun 2018 yang hanya menyentuh angka 32%, lo!

Lalu, bagaimana dengan di Indonesia?

Pada Oktober 2021 lalu, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan pada kasus gangguan jiwa dan depresi hingga 6,5% di Indonesia. Survei yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada tahun 2020 menemukan, sebanyak 63 persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden mengalami depresi akibat pandemi COVID-19.

Apa penyebabnya?

Berdasarkan studi Reach, C. R., dkk. (2021), tekanan psikologis orang dewasa meningkat saat periode pembatasan sosial atau lockdown awal. Social distancing yang ditetapkan secara mendadak dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam kehidupan kita memang sulit untuk dijalani pada awalnya. Wajar jika faktor tersebut menjadi penyebab utama di balik tingginya kasus-kasus terkait kesehatan mental, misalnya stress.

Selain itu, para psikolog dan ahli lain juga meyebutkan bahwa meningkatnya isu kesehatan mental disebabkan oleh isolasi, covid19 ketakutan akan terinfeksi virus korona, kesepian, kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan keuangan, pemutusan hubungan kerja, maupun kesedihan setelah kehilangan orang yang dicintai. Di Indonesia sendiri, peningkatan persentase kasus gangguan jiwa dan depresi disebabkan oleh pembatasan sosial (terlalu lama berdiam di tempat tinggal dan tidak bersosialiasi) serta akibat kehilangan pekerjaan. Layanan konsultasi untuk kondisi mental pun menjadi penting pada masa-masa ini, termasuk untuk mencegah bunuh diri.

Siapa saja yang paling rentan terkena gangguan ini?

Garda terdepan dalam melawan pandemi, yakni tenaga medis dan tenaga kesehatan, mengalami burnout dan stres kronis akibat drastisnya peningkatan kasus pandemi COVID-19 yang harus ditangani. Di Indonesia, kebanyakan penderita gangguan kecemasan dan depresi berusia di antara 15 hingga 50 tahun yang merupakan usia produktif.

Selanjutnya, dilansir dari laman WHO, pandemi COVID-19 sangat berdampak terhadap anak-anak muda. Mereka juga rentan terhadap risiko bunuh diri dan perilaku self-harming. Selain itu, meski peningkatan tingkat depresi pria lebih tinggi dibanding wanita, wanita berisiko terkena dampak yang lebih parah daripada pria. Orang-orang dengan kondisi kesehatan fisik yang sudah ada sebelumnya, seperti asma, kanker, dan penyakit jantung, juga lebih mungkin mengalami gangguan mental.

Pentingnya isu ksehatan mental dalam rencana tanggapan terhadap pandemi COVID-19

Hmm… ternyata, tak melulu soal kesehatan fisik, dampak jangka panjang pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental juga patut diselidiki. Pasalnya, pandemi akibat virus korona ini dapat menimbulkan isu kesehatan mental, khususnya saat seseorang menyesuaikan diri dalam menghadapi «new normal». Sayangnya, pada tahun 2020, pemerintah negara-negara di dunia hanya menyisihkan anggaran kesehatan mental sebanyak 2% dari anggaran kesehatan mereka. Nah, berita baiknya, 90% negara anggota yang disurvei oleh WHO telah memasukkan isu kesehatan dan dukungan psikososial dalam rencana tanggapan COVID-19 (COVID-19 response plan) mereka. Semoga rencana pengelolaan kesehatan mental tersebut bisa terwujud, ya!

Pandemi memang mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Kita mungkin tidak bisa lagi menikmati ‘dunia yang dulu’, tetapi bukan berarti segalanya tidak bisa semenyenangkan dahulu. Jadi, mari kita saling mendukung teman-teman dan orang yang kita sayangi untuk melewati krisis ini bersama-sama! Jangan lupa bahagia!